Book Review: Elon Musk by Walter Isaacson

A Cat Bibliophile
5 min readJun 17, 2024

“There have to be things that inspire you, that move your heart,” Musk said in his speech. “Being a space-faring civilization, making science fiction not fiction, is one of those.” — P. 476

Apa pandangan kalian tentang sosok Elon Musk selama ini? Dari berita di media, segala kontroversi, maupun cuitan di media sosialnya. Pandanganku terhadap sosok Elon Musk sebenarnya sangat minim dan tidak pernah tertarik juga mengikuti sepak terjang salah satu orang terkaya di dunia ini. Awalnya.

Ketika Walter Isaacson meluncurkan buku biografi Elon Musk, mulailah aku tertarik membaca kehidupan pendiri SpaceX dan Tesla Motors ini. Sosok Walter Isaacson memang sudah sangat dikenal dalam penulisan buku biografi. Nama bapak usia 71 tahun ini menjadi mahsyur sejak buku biografi Steve Jobs yang beliau tulis diterbitkan hampir 13 tahun lalu. Buku tersebut, dan buku beliau setelahnya tentang biografi Leonardo DaVinci, menjadi buku terbaik yang pernah aku baca dan membentuk standar tersendiri tentang buku biografi yang berkualitas. Kenapa? Karena Walter Isaacson, dengan latar belakangnya sebagai profesor sejarah dari Harvard dan jurnalis Time, membuat tulisannya selalu berdasarkan riset yang komprehensif dan memuat insight yang mungkin tidak pernah disebutkan secara luas di media lain. Buku biografi yang beliau tulis selalu menunjukkan the good, the bad, and the ugly side dari tokoh-tokoh besar dunia.

Dalam buku setebal 688 halaman ini, Walter Isaacson melakukan wawancara dengan 126 orang terdekat Elon Musk. Beliau juga menghabiskan dua tahun lamanya untuk mengikuti keseharian Elon Musk dan perjanjian dengan Elon Musk untuk tidak mencampuri tulisannya. Walter Isaacson ingin menjamin bukunya benar-benar objektif dari kontrol subyek utama tulisannya.

Biografi ini menjadi sangat lengkap memuat kehidupan Elon Musk. Mulai dari masa kecil yang brutal di Afrika Selatan era Apartheid, pindah ke Kanada saat ia remaja, lalu bisa pindah ke negara adidaya tujuan utamanya Amerika Serikat saat ia kuliah, sampai dengan akuisisi Twitter dan bisnis-bisnis barunya di pertengahan tahun 2023. Walter Isaacson menulis secara kronologis dan juga dengan babak tertentu berdasarkan perusahaan-perusahaan Elon Musk serta kehidupan pribadinya. Pembaca dibuat untuk melihat keseluruhan hidup Elon Musk dari hal-hal terkecil. Walter Isaacson membuat pembaca bisa berempati dan memahami sosok Elon Musk dengan manusiawi.

Elon Musk adalah figur yang banyak dihujat maupun dipuja-puji oleh banyak orang di dunia. Setelah membaca buku ini, aku juga tidak menjadi pemuja Elon Musk atau menghujaf segala ide serta bisnisnya. Tapi, dari membaca buku ini, banyak hal yang membuatku lebih memahami tentang sosok Elon Musk dan apa yang sedang terjadi di dunia saat ini.

Walter Isaacson berkali-kali menyebutkan tentang ambisi (atau ‘tugas mulia’) Elon Musk untuk menyelamatkan umat manusia berdasarkan obsesinya pada science fiction. Tetapi, upayanya itu nampak hanya untuk segelintir orang (jika tidak untuk dirinya sendiri). Banyak pemujanya menganggap Elon adalah seorang jenius, tetapi Walter Isaacson memperlihatkan banyak keputusan Elon Musk untuk bisnis dan hidupnya sendiri yang tidak logis, keliru, dan bahkan cukup memalukan. Elon Musk selalu menganggap dirinya seorang yang berani mengambil resiko, dan bahkan sangat tertantang akan hal itu, namun seringkali resiko yang ada tidak ditanggung olehnya sendiri melainkan orang lain. Elon Musk diperlihatkan sebagai sosok yang amat sangat gigih dalam membangun bisnisnya dan mempertahankan mimpi-mimpi besarnya. Sayangnya, tidak banyak yang benar-benar memberi dampak baik bagi bawahannya, partner bisnis, maupun kemanusiaan.

Beberapa sisi personal Elon Musk membuat pembaca dapat bersimpati dengannya. Bagaimana kegigihannya dan juga kenekatannya itu merupakan ‘turunan’ genetik dari kakek dan neneknya, masa kecil yang brutal di Afrika Selatan era Apartheid, dan diagnosa dirinya sendiri sebagai manusia dengan spektrum Asperger sehingga reaksinya minim emosi. Sebagai pembaca, aku nggak habis pikir dengan kenekatannya membangun SpaceX dan Tesla Motors di waktu yang bersamaan saat usianya masih awal 30an hanya dengan latar belakang kuliah fisika dan bisnis. Mungkin hanya dia satu-satunya orang di dunia ini yang punya keberanian itu. Elon Musk juga memiliki seorang ayah kandung yang sering abusif kepadanya saat ia kecil dan menambah masalah hidupnya saat dewasa. Saat ia marah dan berlaku ceroboh menjadi sangat mirip dengan perilaku Ayahnya. Namun, Elon juga tidak pendendam pada ayahnya dan saat dengan anak-anaknya ia berusaha menjadi figur ayah terbaik yang tidak ia miliki dulu. Elon Musk diperlihatkan sebagai sosok yang humble, tidak suka kemewahan, atau memendam harta kekayaan untuk pribadi. Kekayaan yang ia peroleh selalu ia gunakan untuk membangun bisnis baru (yang selalu membawa misi ‘menyelamatkan umat manusia’) atau untuk keluarganya. Ia membiayai hidup dua keponakannya sejak kuliah yang kemudian menjadi insinyur andalan di Twitter.

Afterward, he was interviewed by video for a business summit in Indonesia. The moderator asked what advice he would give to someone who wanted to be the next Elon Musk. “I’d be careful what you wish for,” he replied. “I’m not sure how many people would actually like to be me. The amount that I torture myself is next level, frankly.”— P.545

Saat membaca kisah Elon Musk ini, sulit untuk tidak teringat pada sosok Steve Jobs dan biografinya yang juga ditulis oleh Walter Isaacson. Keduanya sama-sama Techbro, entrepreneur dengan bisnis yang disruptif dan revolusioner. Elon dan Steve memiliki problema dengan ayah kandung masing-masing. Sifat gigih dan keras kepalanya, yang cenderung kasar juga, menjadi ‘modal utama’ bisnis mereka sukses. Kepercayaan mereka bahwa kualitas produk adalah yang utama dan urusan sales serta marketing bukan hal penting (di era Steve Jobs, Apple tidak beriklan secara konvensional, begitu juga Tesla Motors selama ini). Keduanya juga sangat mengutamakan desain produk dan meyakini. bahwa desain sama pentingnya dengan teknologi (disebutkan dalam buku ini, desainer dan engineer Tesla Motors bekerja dalam ruangan yang sama dengan kedudukan yang setara).

Membaca biografi ini juga membuka mata tentang apa yang sedang terjadi di dunia, terutama tentang teknologi masa depan. Persaingan bisnis roket luar angkasa, teknologi mutakhir setelah mobil listrik, dan kompetisi bisnis di ranah Artificial Intelligence. Sebagai seseorang yang tidak banyak mengikuti perkembangan teknologi mutakhir, membaca buku ini jadi menambah wawasan sekaligus kewaspadaan akan perkembangan teknologi tersebut nantinya.

Elon Musk (2023) by Walter Isaacson

Simon & Schuster

--

--

A Cat Bibliophile
0 Followers

Hi! I’m 30s female from Indonesia. I’m a real person, not a cat. Self-proclaimed omnireader. When my diary isn’t enough, I write here.